Oleh: Joyo Kasto Wijoyo (Budayawan Milineal)
Rizal Fadillah, dulu pernah menjadi caleg PAN. Tapi belum berhasil mendapatkan kursi. Sekarang menjadi tim Anies Baswedan. Dan setiap tulisan atau pernyataannya memosisikan sebagai sayap oposisi pemerintah.
Tidak ada yang salah dengan pilihan dan sikap politiknya. Itu di jamin Undang-undang. Dengan demikian, kita tidak lagi menuntut seseorang berlaku obyektif apa tidak. Karena kita sudah tahu posisi seseorang dari sikap, tulisan, dan pernyataan.
Yang pertama.
Bahasa politik terkadang multi tafsir. Tergantung para mufasir. Jika mufasir barisan oposisi, tentu cara pandangnya berbeda dengan barisan pendukung pemerintah. Mufasir oposisi pasti akan memaknai secara negatif. Apapun yang dibahasakan pemerintah, biasanya ditangkap dengan sikap yang tidak baik. Pakai istilah penjilatlah, dan lainnya. He he he.
PAN memuji Presiden karena Presiden memang pekerja keras, hidupnya untuk kemajuan Indonesia, ikhlas berbuat untuk rakyat, dan memahami harmoni atau keseimbangan alam. Sederhana hidupnya. Presiden juga menunjukkan kinerja yang progresif yang berdampak trickle dowm effect pada perekonomian dan kemakmuran rakyat.
PAN itu partai koalisi pemerintah. Memuji presiden itu bentuk respek dan salut atas kinerja presiden. Memuji itu bukan menjilat. Tapi jika hati sudah dirasuki energi negatif, ya para mufasir itu bahasanya jadi menjijikkan he he.
Koalisi pemerintah itu beraneka warna. Pemerintahan gotong royong ini harus kompak dan solid. Bahasa pujian itu tidak kemudian menghilangkan ideologi partai, eksistensi sebagai manusia beriman kepada Allah Swt, atau melacurkan diri.
Bahasa pujian itu bahasa terimakasih atas energi positif kepada presiden yang membawa perubahan pembangunan.
Yang kedua.
Sekali lagi bahasa politik itu mesti menyegarkan, berpantun ria, tidak boleh menjelekkan siapapun. Memakai bahasa positif. Di politik, untuk mengobarkan semangat perjuangan, biasanya memakai bahasa yang heroik : perang, berjuang sampai tetes darah penghabisan, dan lainnya. Tafsirannya jangan dimaknai secara harfiah dong boss he he he.
Sistem demokrasi konstitusional melalui pelaksanaan pemilu itu harus tetap dijaga. Mungkin saja saudara Rizal salah baca Konstitusi.
Di Pasal 10 UUD RI 1945 menyatakan “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU”. Jadi panglima tertinggi itu presiden. Bang Zulhas tidak salah, he he..
Tanggung jawab penggunaan kekuatan TNI berada pada Panglima TNI, tetapi Panglima TNI bertanggung jawab kepada presiden (hayo ini di Undang-undang apa) he he..
Yang ketiga.
Seorang pengamat yang canggih itu harus dapat memadukan analisisnya ketika melihat panggung depan politik dan substansi panggung belakang politik. Jika hanya melihat, membaca, dan memiliki kedangkalan informasi, ditambah dengan kebusukan hati, maka seorang pengamat akan tersesat di jalan yang terang, he he..
Seakan-akan benar jalannya. Tapi sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang tersesat.
PAN belum menentukan secara resmi pasangan calon di pilpres. Semua masih dinamis. Bagi orang awam tentu akan bingung. Bingung menebak. He he
Tetapi bagi seorang politisi atau pengamat yang bonafit tentu akan dapat memahami drama-drama panggung depan. Dan rakyat juga akan memahami bahwa ini adalah bagian dari dinamika politik menuju pada proses penetapan paslon.
Keempat.
Partai politik itu tulang punggung pemerintahan. Kalo partai politik tidak di pemerintahan, lah proses demokrasinya bagaimana? Hehehe..
Justru lebih efektif jika ketum parpol di menteri. Pemerintahan bisa efektif efisien. Terang-benderang. Tidak ada drama-drama.
Demokrasi itu membutuhkan partai politik yang kuat dan berkualitas. Demokrasi membutuhkan pemerintahan yang kuat, tegas, dan aspiratit. Pemerintahan yang otoriter itu bukan jamannya lagi. Nanti rakyat marah dan akan jadi revolusi sosial.
Soal demokrasi di era reformasi, semua partai politik yang lolos di Senayan dipastikan akan bertindak demokratis dan akan mengabdikan diri pada kemauan rakyat.
Hanya orang-orang yang berlabel pengamat tetapi berhati busuk, tidak bersih yang selalu menyuarakan bahasa-bahasa yang tidak sesuai tuntunan agama. Padahal katanya mereka beragama.